DALAM
DUNIA PENDIDIKAN
I.
PENDAHULUAN
Praktik
plagiarisme, pemalsuan ijazah, perjokian, tawuran antar pelajar dan berbagai
kasus yang mencoreng dunia pendidikan akhir-akhir ini, menimbulkan keprihatinan
masyarakat. Bagaimana tidak, dunia pendidikan selama ini diharapkan menjadi
satu-satunya tumpuan akhir penjaga nilai-nilai kejujuran dan susila. Tetapi
kenyataanya, virus ketidakjujuran dan budaya menerabas itu sudah menyerang
dunia pendidikan. Jika demikian, ke mana lagi masyarakat mencari tumpuan ketika
mengalami krisis moralitas dan kejujuran? Langkah apa yang harus dilakukan
stakeholder pendidikan, guna mengentaskan krisis moralitas dan ketidakjujuran
dalam pendidikan?
Maraknya
praktik plagiarisme dan budaya ketidakjujuran dalam pendidikan, kata Mendiknas
Muhammad Nuh (2010), menandakan mulai lunturnya nilai-nilai susial dan
moralitas. Solusi mengatasinya, lanjut Muhammad Nuh, dunia pendidikan harus
melakukan revitalisasi pendidikan karakter, mulai dari tingkat dasar (SD-SLTA) hingga
universitas/perguruan tinggi (PT).
Dunia
pendidikan sebenarnya memiliki tujuan untuk “memintarkan” anak didik dan
seluruh orang yang terlibat di dalamnya. Memintarkan dalam arti intelektual
serta moral. Bila dalam lingkup pendidikan semua yang terlibat didalamnya
berpegang teguh pada moral, tidak akan terjadi pemalsuan (plagiatisme) dalam
dunia pendidikan.
Banyak
kasus plagiatisme yang terjadi akhir-akhir ini. sungguh ironis dan tak seiring
dengan tujuan pendidikan di negara kita yang mempunyai tujuan “mencerdaskan
kehidupan bangsa”,yang tercantum dalam Undang Undang Dasar 1945 sebagai pedoman
hidup masayarakat dan pemimpin negara kita.
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian
Plagiatisme.
Plagiarisme,
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ialah penjiplakan yang melanggar hak
cipta, yaitu hak seseorang atas hasil penemuannya yang dilindungi oleh
undang-undang. Plagiat adalah pengambilan karangan (pendapat dsb) orang lain
dan menjadikannya seolah-olah karangan / pendapat sendiri, misalnya menerbitkan
karya tulis orang lain atas nama dirinya sendiri. Orang yang melakukan plagiat
disebut plagiator atau penjiplak.
B. Pro
dan Kontra Terhadap Budaya
Pemalsuan (Plagiatisme) Dalam Dunia Pendidikan.
Dengan
merujuk pada pengertian-pengertian di atas, maka sebenarnya hampir setiap hari
kita menyaksikan plagiarisme, plagiat dan plagiator, baik yang sengaja maupun
yang tidak. Para ‘pakar’ dalam berbagai bidang tidak jarang melontarkan
pendapat yang sebenarnya merupakan hasil penelitian atau pendapat orang lain
sebelumnya untuk menganalisis atau menjelaskan suatu topik aktual di bidang
tertentu. Pada umumnya mereka ‘malas’ menjelaskan bahwa analisis atau pendapat
itu berasal dari orang lain dan mereka hanya sekedar mengulangi atau meminjam
pendapat tersebut. Demikian juga seorang pejabat yang membuka suatu pertemuan
ilmiah, bisa mengambil secara tak sengaja pendapat orang lain. Hal itu dapat
terjadi, misalnya, apabila konsep sambutan tersebut dibuat oleh orang lain
(staf yang dia tunjuk untuk itu), yang barangkali kurang faham akan tatakrama
pengutipan pendapat orang lain. Dalam keseharian para peneliti di
lingkungannya, plagiarisme bisa terjadi di antara sesama mereka, misalnya
melalui diskusi yang bisa melahirkan gagasan-gagasan asli dari seseorang tetapi
gagasan-gagasan itu kemudian menjadi ‘milik bersama’ atau milik seseorang yang
sebenarnya tidak berhak.
Plagiarisme atau plagiat dapat terjadi karena tak
disengaja, misalnya karena kurang memahami tatakrama pengutipan atau perujukan
gagasan atau pendapat orang lain, atau bisa juga karena keterbatasan pelacakan
sumber-sumber informasi dari literatur-literatur ilmiah. Kecurangan akademik (academic fraud) dapat
mengambil berbagai bentuk. Bentuk yang paling umum adalah mencoba mencontek
atau menggunakan kertas contekkan dalam ujian. Tetapi, meskipun plagiarisme
juga dianggap sebagai bentuk kecurangan akademik, kedua konsep tersebut sering
dipisahkan.
Seseorang tidak menyalahkan tindakan
plagiat karena tindakan tersebut sudah menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia,
yang menginginkan segala hal dengan cara instan namun menginginkan hasil
maksimal. Karena, meskipun tindakan tersebut tidak di sarankan, plagiat
memberikan kemudahan pada pelakunya. Sedangkan seseorang menolak tindakan
plagiat karena tindakan tersebut merugikan orang yang menjadi sumbernya. Karena
tindakan plagiat tersebut mengatasnamakan hasil karya orang lain sebagai hasil
karyanya sendiri. Ataupun tidak mencantumkan darimana informasi tersebut
diperoleh.
C. Contoh
Nyata Budaya
Pemalsuan (Plagiatisme) Dalam Dunia Pendidikan.
Contoh kasus plagiat di Indonesia
yang menghebohkan dunia akademik antara lain sebagai
berikut.
1. Kasus
plagiat Dr Ipong S Azhar, mahasiswa S3 UGM dan lulus pascasarjana (S-3) UGM
tahun 1998. Disertasi doktor Ipong disinyalir sebagai menjiplak skripsi S-1
Moch. Nurhasyim, alunus FISIP Unair Surabaya tahun 1996 (Republika, 1999).
2. Kasus
plagiat Prof Dr Anak Agung Banyu Perwita dianggap benar-benar berat. Garagara
melakukan plagiarisme, Prof Banyu akan diberhentikan secara tidak hormat oleh Universitas Parahyangan (Unpar).
Tidak hanya itu, Gelar profesor yang diberikan kepada Banyu juga akan dicopot
(Detik.com, 2010a)
3. Kasus
plagiarisme yang menyeret nama empat doktor ITB, dilakukan M. Zuliansyah. Di
ITB setiap mahasiswa S3 dibimbing oleh tiga pembimbing. Pada makalah Zuliansyah,
tiga pembimbingnya yaitu Prof. Dr. Ir. Suhono Harso Supangkat, M.Eng dan DR.
Ir. Yoga Priyana serta DR. Ir. Carmadi Machbub, sehingga terdapat tiga doktor.
Kasus ini berawal dari keikutsertaan seorang mahasiswa S3 bernama M. Zuliansyah
yang mengikuti seminar dengan menyertakan sebuah makalah pada 2008 di Cina
(Detik.com, 2010b).
D. Paradigma
Budaya Pemalsuan (Plagiatisme) Dalam
Dunia Pendidikan berdasarkan Etika Scara Luas dan Etika Secara Sempit.
Etika
secara luas dimaksudkan sebagai ilmu yang didalamnya terdapat bagaimana cara
agar manusia dapat melakukan perbuatan baik, menentukan mana yang baik dan mana
yang buruk,berisi moral,pengetahuan akhlak, kejujuran, dan itikad baik.
Etika
secara sempit dalam konteks masalah kali ini dimaksudkan bahwa etika yang
dipakai ialah etika dalam pendidikan itu sendiri.
Maka
berdasarkan etika secara luas, Budaya Pemalsuan (Plagiatisme) Dalam Dunia Pendidikan
sangatlah melanggar etika yang merupakan ilmu pengetahuan atas asas-asas
akhlak(moral), perbuatan baik, kejujuran, dan itikad baik. Sedangkan
berdasarkan etikia secara sempit, yakni dalam konteks masalah ini ialah etika
pendidikan, dimana harusnya sebuah instansi pendidikan menghasilkan output
pelajar/orang yang memperoleh gelar itu bermutu dan bertanggung jawab atas
karya dan nilai yang diperolehnya. Tidak hanya menginginkan yang instan saja.
E. Etika/Kode
Etik Pendidikan.
Kode etik
adalah norma-norma yang harus diindahkan oleh setiap anggota profesi di dalam
melaksanakan tugas profesinya dan dalam hidupnya di masyarakat. Adapun
tujuannya adalah untuk menjunjung tinggi martabat profesi, menjaga
kesejahteraan anggota, meningkatkan pengabdian anggota, meningkatkan mutu
profesi dan meningkatkan mutu organisasi (Soetjipto 2007, hal. 30-31).
Dalam proses pendidikan, banyak unsur-unsur yang
terlibat agar proses pendidikan dapat berjalan dengan baik. Salah satunya
adalah Pengajar sebagai tenaga pendidik. Pengajar sebagai suatu profesi
kependidikan mempunyai tugas utama melayani masyarakat dalam dunia pendidikan.
Dalam hal itu, Pengajar sebagai jantung pendidikan dituntut semakin profesional
seiring perkembangan ilmu dan teknologi. Etika profesional Pengajar dituntut
dalam hal ini. Etika yang harus dimiliki oleh seorang pendidik sesuai kode etik
profesi kePengajaran. Berikut adalah kode etik profesi kePengajaran (dikutip
Soetjipto dan kosasi, 1994:34-35).
Contoh kode etik pendidikan
1.
Pengajar secara pribadi dan
bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya.
2.
Pengajar melaksanakan segala
kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan
3.
Pengajar memiliki dan
melaksanakan kejujuran professional
4.
Pengajar memelihara hubungan
baik dengan orangtua murid dan masyarakat sekitarnya untuk membina peran serta
dan rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan.
5.
Pengajar harus menghayati apa saja
yang menjadi tanggung jawab tugasnya
6.
Pengajar sebagai jantung pendidikan
dituntut semakin profesional seiring perkembangan ilmu dan teknologi.
Kode etik Pengajar sesungguhnya merupakan pedoman yang
mengatur hubungan Pengajar dengan teman kerja, murid dan wali murid, pimpinan
dan masyarakat serta dengan misi tugasnya. (Soetjipto 2007, hal. 34-35)
.
Akibat pelanggran kode etik
1.
Membuat nama instansi
pendidikan yang meakukan plagiatisme akan tercemar bukan hanya instansi pendidikan
saja tetapi instansi lain yang melakukan hal tersebut.
2. Terjadi
penyimpangan tanggung jawab atas tugas yang diemaban.
3. Dapat
mengakibatkan pertentangan internal dalam satu profesi atau suatu instansi.
4. Menyebabkan
turunnya citra suatu instansi atau oknum yang melakukan plagiatisme di
masyarakat dan lingkungan sekitar.
Resiko untuk oknum yang
melakukan pelanggaran kode etik pendidikan
1. Bagi dosen
yang di ketahui melakukan plagiat atas karya ilmiah maka Kopertis akan
mengambil tindakan berupa di batalkan usul Jenjang Jabatan Akademiknya dan di
tunda untuk usul berikutnya dalam jangka waktu tertentu atau usul jenjang
jabatan akademiknya tidak dapat diusulkan begitu
juga dengan mahasiswa.
2. Bagi
Pengajar yang di ketahui melakukan pelanggaran kode etik seperti mengedarkan
kunci jawaban ujian, mengkatrol nilai memberi
nilai tinggi untuk siswa-siswa yang dekat walaupun kenyataan nilainya rendah
dan ketidakobyektifan lainnya akan mengambil tindakan berupa diberikan
peringatan dan saksi tegas bilamana masih melanggarnya.
F. Tindakan
Yang Dapat Dilakukan Untuk Tidak Membuat Masyarakat Terganggu Dengan Pro Dan Kotra Yang
Mampu Memicu Konflik Di Masa Mendatang
Tindakan yang dapat dilakukan:
1. Proses pembelajaran
hendaknya mengarah kepada kualitas, tidak hanya kepada kuantitas. Akhir-akhir
ini terjadi kecenderungan bahwa kuantitas lebih diutamakan daripada kualitas.
2. Proses pembelajaran
tidak dapat dipercepat, dipadatkan atau dimodifikasi hanya sekedar untuk
mencari legalitas. Pada saat ini ada kecenderungan mempersingkat masa
pendidikan secara berlebihan yang pada akhirnya mengorbankan proses
pembelajaran yang wajar. Bahkan terjadi kecenderungan lebih mementingkan jumlah
lulusan dengan tidak mengindahkan proses pembelajaran yang benar. Hal ini bukan
tidak mungkin berakibat kepada modus penjualan gelar yang semakin marak
akhir-akhir ini.
3. Proses promosi atau
kenaikan jabatan akademik dosen di perguruan tinggi hendaknya terjadi secara
normal dan rasional sesuai kemampuan dan integritas dosen bersangkutan, tidak
dipaksakan atau dipercepat dengan mengorbankan norma akademik serta hanya
mencari legalitas.
4. Dengan melihat
kecenderungan tersebut di atas, maka banyak upaya mencari jalan pintas untuk
memperoleh gelar diantaranya dengan melakukan kegiatan plagiat.
5. Untuk mencegah meluasnya
kegiatan plagiat, maka setiap perguruan tinggi harus melakukan pengawasan yang
ketat secara ilmiah terhadap proses pembelajaran yang diselenggarakan, dengan
mengaktifkan berbagai komisi atau panitia penilai yang kompeten, mempunyai
integritas dan berdedikasi tinggi.
6. Salah satu indikator
kecermatan pengawasan mutu adalah intensitas penilaian dan penelaahan terhadap
karya seseorang, apakah mahasiswa yang dinilai skripsi/tesis/ disertasi-nya
maupun dosen yang dinilai karya ilmiahnya / prestasi mengajarnya dan sebagainya.
7. Untuk dapat memenuhi
norma kewajaran proses pembelajaran di perguruan tinggi, maka perlu ada pedoman
beban kerja seseorang dosen yang melakukan tugasnya secara penuh waktu (sesuai
lampiran surat ini). Pedoman tersebut hendaknya dapat digunakan untuk
mengendalikan mutu pendidikan. Apabila seseorang dosen dapat berkarya melebihi
yang tercantum dalam pedoman tersebut berarti dosen tersebut mempunyai
kemampuan khusus / luar biasa atau sebaliknya perlu diwaspadai adanya
penyimpangan norma karena hanya mengejar kuantitas.
Pihak-pihak
yang dilibatkan :
1.
Intasi pendidikan
2.
pimpinan pendidikan
3.
bagian administrasi
pendidikan
4.
pengajar
5.
pengawas
Pencegahan
1. Pimpinan perguruan tinggi mengawasi
pelaksanaan kode etik mahasiswa/dosen/peneliti/tenaga kependidikan yang
ditetapkan oleh senat perguruan tinggi yang antara lain berisi kaidah
pencegahan dan penanggulangan plagiat.
2. Pimpinan perguruan tinggi menetapkan dan
mengawasi pelaksanaan gaya selingkung untuk setiap bidang ilmu, teknologi, dan
seni yang dikembangkan oleh perguruan tinggi.
3.Pimpinan perguruan
tinggi secara berkala mendiseminasikan kode etik
mahasiswa/dosen/peneliti/tenaga kependidikan yang sesuai agar tercipta budaya
antiplagiat.
4. Pada setiap karya ilmiah
yang dihasilkan di lingkungan perguruan tinggi harus dilampirkar pernyataan
yang ditandatangani oleh penyusun bahwa :
a. karya
ilmiah tersebut bebas plagiat
b. apabila di kemudian
hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah tersebut, maka penyusunnya
bersedia menerima sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
5. Pimpinan perguruan
tinggi wajib mengunggah secara elektronik semua karya ilmiah
mahasiswa/dosen/peneliti/tenaga kependidikan yang telah dilampiri pernyataan melalui
portal Garuda (garba rujukan digital) sebagai titik akses terhadap karya ilmiah
mahasiswa/dosen/peneliti/tenaga kependidikan Indonesia, atau portal lain yang ditetapkan
oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi.
Penanggulangan
Mahasiswa
1. Dalam hal diduga telah terjadi plagiat oleh
mahasiswa, Ketua jurusan/departemen/bagian membuat persandingan antara karya
ilmiah mahasiswa dengan karya dan/atau karya ilmiah yang diduga merupakan
sumber yang tidak dinyatakan oleh mahasiswa.
2. Ketua jurusan/departemen/bagian meminta seorang
dosen sejawat sebidang untuk memberikan kesaksian secara tertulis tentang
kebenaran plagiat yang diduga dilakukan oleh mahasiswa.
8. Mahasiswa yang diduga melakukan plagiat diberi
kesempatan melakukan pembelaan di hadapan ketua jurusan/departemen/bagian.
9. Apabila berdasarkan persandingan dan kesaksian telah
terbukti terjadi plagiat, maka ketua jurusan/departemen/ bagian menjatuhkan
sanksi kepada mahasiswa sebagai plagiator.
10. Apabila salah satu dari
persandingan atau kesaksian, ternyata tidak dapat membuktikan terjadinya
plagiat, maka sanksi tidak dapat dijatuhkan kepada mahasiswa yang diduga melakukan
plagiat.
G. PENUTUP
` kesimpulan yang dapat kita ambil ialah,
kita sebagai manusia yang ber-etika hendaknya mau menghargai karya orang lain,
bila kita ingin menggunakan karya orang lain janganlah diakui sebagai karya
sendiri. Sebutkanlah darimana kita mendapatkan karya tersebut. Plagiatisme juga
secara intelektual tidak memberi keuntungan apa-apa, karena orang yang
melakukan plagiatisme biasanya menginginkan yang praktis. Pun bila memp[elajari
dan bisa itu hanya sesaat. Budayakan pendidikan kita dilaksanakan dengan jujur
dan tanpa adanya plagiatisme, agar mencetak “orang-orang” bergelar yang
benar-benar bermutu. Tidak ada sulitnya kita meminta bantuan orang lain dan
meminta izin untuk memakai karya orang lain kepada pembuatnya dan menyebutkan
sumbernya itu sudah merupakan tindakan yang bukan merupakan plagiat.
H. DAFTAR
PUSTAKA
- http://gakpunyablog.wordpress.com/2011/06/02/pengertian-plagiat/
- Harian pelita edisi 31 maret 2010 kolom opini oleh ari wibowo
- Kundanr. 2009. Guru Profesional: Implementasi KTSP dan Sukses dalam Sertifikasi Guru. Jakarta: Rajawali Pers.
- Soetjipto & Raflis Kosasi. 2007. Profesi Keguruan. Jakarta: Rineka Cipta
- http://money11-info.blogspot.com/2012/04/kode-etik-kependidikan.html
- http://sucipto.guru.fkip.uns.ac.id/2010/01/06/kode-etik-profesi-keguruan/
- http://www.kopertis2.or.id/v2/images/foto_new/plagiat.pdf
- http://bandi.staff.fe.uns.ac.id/files/2009/08/seminar-ta-d3-2011.pdf