Pages

Welcome To My Blog..Happy Reading..->pradizwardhani.blospot.com

Sabtu, 14 April 2012

TUGAS_1/ ETIKA PROFESI



BUDAYA PEMALSUAN (PLAGIATISME)
DALAM DUNIA PENDIDIKAN

I.          PENDAHULUAN
Praktik plagiarisme, pemalsuan ijazah, perjokian, tawuran antar pelajar dan berbagai kasus yang mencoreng dunia pendidikan akhir-akhir ini, menimbulkan keprihatinan masyarakat. Bagaimana tidak, dunia pendidikan selama ini diharapkan menjadi satu-satunya tumpuan akhir penjaga nilai-nilai kejujuran dan susila. Tetapi kenyataanya, virus ketidakjujuran dan budaya menerabas itu sudah menyerang dunia pendidikan. Jika demikian, ke mana lagi masyarakat mencari tumpuan ketika mengalami krisis moralitas dan kejujuran? Langkah apa yang harus dilakukan stakeholder pendidikan, guna mengentaskan krisis moralitas dan ketidakjujuran dalam pendidikan?
Maraknya praktik plagiarisme dan budaya ketidakjujuran dalam pendidikan, kata Mendiknas Muhammad Nuh (2010), menandakan mulai lunturnya nilai-nilai susial dan moralitas. Solusi mengatasinya, lanjut Muhammad Nuh, dunia pendidikan harus melakukan revitalisasi pendidikan karakter, mulai dari tingkat dasar (SD-SLTA) hingga universitas/perguruan tinggi (PT).
Dunia pendidikan sebenarnya memiliki tujuan untuk “memintarkan” anak didik dan seluruh orang yang terlibat di dalamnya. Memintarkan dalam arti intelektual serta moral. Bila dalam lingkup pendidikan semua yang terlibat didalamnya berpegang teguh pada moral, tidak akan terjadi pemalsuan (plagiatisme) dalam dunia pendidikan.
Banyak kasus plagiatisme yang terjadi akhir-akhir ini. sungguh ironis dan tak seiring dengan tujuan pendidikan di negara kita yang mempunyai tujuan “mencerdaskan kehidupan bangsa”,yang tercantum dalam Undang Undang Dasar 1945 sebagai pedoman hidup masayarakat dan pemimpin negara kita. 

II.       PEMBAHASAN
A.    Pengertian Plagiatisme.
Plagiarisme, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ialah penjiplakan yang melanggar hak cipta, yaitu hak seseorang atas hasil penemuannya yang dilindungi oleh undang-undang. Plagiat adalah pengambilan karangan (pendapat dsb) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan / pendapat sendiri, misalnya menerbitkan karya tulis orang lain atas nama dirinya sendiri. Orang yang melakukan plagiat disebut plagiator atau penjiplak.

B.     Pro dan Kontra Terhadap Budaya Pemalsuan (Plagiatisme) Dalam Dunia Pendidikan.
Dengan merujuk pada pengertian-pengertian di atas, maka sebenarnya hampir setiap hari kita menyaksikan plagiarisme, plagiat dan plagiator, baik yang sengaja maupun yang tidak. Para ‘pakar’ dalam berbagai bidang tidak jarang melontarkan pendapat yang sebenarnya merupakan hasil penelitian atau pendapat orang lain sebelumnya untuk menganalisis atau menjelaskan suatu topik aktual di bidang tertentu. Pada umumnya mereka ‘malas’ menjelaskan bahwa analisis atau pendapat itu berasal dari orang lain dan mereka hanya sekedar mengulangi atau meminjam pendapat tersebut. Demikian juga seorang pejabat yang membuka suatu pertemuan ilmiah, bisa mengambil secara tak sengaja pendapat orang lain. Hal itu dapat terjadi, misalnya, apabila konsep sambutan tersebut dibuat oleh orang lain (staf yang dia tunjuk untuk itu), yang barangkali kurang faham akan tatakrama pengutipan pendapat orang lain. Dalam keseharian para peneliti di lingkungannya, plagiarisme bisa terjadi di antara sesama mereka, misalnya melalui diskusi yang bisa melahirkan gagasan-gagasan asli dari seseorang tetapi gagasan-gagasan itu kemudian menjadi ‘milik bersama’ atau milik seseorang yang sebenarnya tidak berhak.
Plagiarisme atau plagiat dapat terjadi karena tak disengaja, misalnya karena kurang memahami tatakrama pengutipan atau perujukan gagasan atau pendapat orang lain, atau bisa juga karena keterbatasan pelacakan sumber-sumber informasi dari literatur-literatur ilmiah. Kecurangan akademik (academic fraud) dapat mengambil berbagai bentuk. Bentuk yang paling umum adalah mencoba mencontek atau menggunakan kertas contekkan dalam ujian. Tetapi, meskipun plagiarisme juga dianggap sebagai bentuk kecurangan akademik, kedua konsep tersebut sering dipisahkan.
Seseorang tidak menyalahkan tindakan plagiat karena tindakan tersebut sudah menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia, yang menginginkan segala hal dengan cara instan namun menginginkan hasil maksimal. Karena, meskipun tindakan tersebut tidak di sarankan, plagiat memberikan kemudahan pada pelakunya. Sedangkan seseorang menolak tindakan plagiat karena tindakan tersebut merugikan orang yang menjadi sumbernya. Karena tindakan plagiat tersebut mengatasnamakan hasil karya orang lain sebagai hasil karyanya sendiri. Ataupun tidak mencantumkan darimana informasi tersebut diperoleh.

C.   Contoh Nyata Budaya Pemalsuan (Plagiatisme) Dalam Dunia Pendidikan.
Contoh kasus plagiat di Indonesia yang menghebohkan dunia akademik antara lain sebagai berikut.
1.    Kasus plagiat Dr Ipong S Azhar, mahasiswa S3 UGM dan lulus pascasarjana (S-3) UGM tahun 1998. Disertasi doktor Ipong disinyalir sebagai menjiplak skripsi S-1 Moch. Nurhasyim, alunus FISIP Unair Surabaya tahun 1996 (Republika, 1999).
2.    Kasus plagiat Prof Dr Anak Agung Banyu Perwita dianggap benar-benar berat. Garagara melakukan plagiarisme, Prof Banyu akan diberhentikan secara tidak   hormat oleh Universitas Parahyangan (Unpar). Tidak hanya itu, Gelar profesor yang diberikan kepada Banyu juga akan dicopot (Detik.com, 2010a)
3.    Kasus plagiarisme yang menyeret nama empat doktor ITB, dilakukan M. Zuliansyah. Di ITB setiap mahasiswa S3 dibimbing oleh tiga pembimbing. Pada makalah Zuliansyah, tiga pembimbingnya yaitu Prof. Dr. Ir. Suhono Harso Supangkat, M.Eng dan DR. Ir. Yoga Priyana serta DR. Ir. Carmadi Machbub, sehingga terdapat tiga doktor. Kasus ini berawal dari keikutsertaan seorang mahasiswa S3 bernama M. Zuliansyah yang mengikuti seminar dengan menyertakan sebuah makalah pada 2008 di Cina (Detik.com, 2010b).

D.  Paradigma Budaya Pemalsuan (Plagiatisme) Dalam Dunia Pendidikan berdasarkan Etika Scara Luas dan Etika Secara Sempit.
Etika secara luas dimaksudkan sebagai ilmu yang didalamnya terdapat bagaimana cara agar manusia dapat melakukan perbuatan baik, menentukan mana yang baik dan mana yang buruk,berisi moral,pengetahuan akhlak, kejujuran, dan itikad baik.
Etika secara sempit dalam konteks masalah kali ini dimaksudkan bahwa etika yang dipakai ialah etika dalam pendidikan itu sendiri.
Maka berdasarkan etika secara luas, Budaya Pemalsuan (Plagiatisme) Dalam Dunia Pendidikan sangatlah melanggar etika yang merupakan ilmu pengetahuan atas asas-asas akhlak(moral), perbuatan baik, kejujuran, dan itikad baik. Sedangkan berdasarkan etikia secara sempit, yakni dalam konteks masalah ini ialah etika pendidikan, dimana harusnya sebuah instansi pendidikan menghasilkan output pelajar/orang yang memperoleh gelar itu bermutu dan bertanggung jawab atas karya dan nilai yang diperolehnya. Tidak hanya menginginkan yang instan saja.

E.     Etika/Kode Etik Pendidikan.
Kode etik adalah norma-norma yang harus diindahkan oleh setiap anggota profesi di dalam melaksanakan tugas profesinya dan dalam hidupnya di masyarakat. Adapun tujuannya adalah untuk menjunjung tinggi martabat profesi, menjaga kesejahteraan anggota, meningkatkan pengabdian anggota, meningkatkan mutu profesi dan meningkatkan mutu organisasi (Soetjipto 2007, hal. 30-31).
Dalam proses pendidikan, banyak unsur-unsur yang terlibat agar proses pendidikan dapat berjalan dengan baik. Salah satunya adalah Pengajar sebagai tenaga pendidik. Pengajar sebagai suatu profesi kependidikan mempunyai tugas utama melayani masyarakat dalam dunia pendidikan. Dalam hal itu, Pengajar sebagai jantung pendidikan dituntut semakin profesional seiring perkembangan ilmu dan teknologi. Etika profesional Pengajar dituntut dalam hal ini. Etika yang harus dimiliki oleh seorang pendidik sesuai kode etik profesi kePengajaran. Berikut adalah kode etik profesi kePengajaran (dikutip Soetjipto dan kosasi, 1994:34-35).

Contoh kode etik pendidikan
1.    Pengajar secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya.
2.    Pengajar melaksanakan segala kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan
3.    Pengajar memiliki dan melaksanakan kejujuran professional
4.    Pengajar memelihara hubungan baik dengan orangtua murid dan masyarakat sekitarnya untuk membina peran serta dan rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan.
5.    Pengajar harus menghayati apa saja yang menjadi tanggung jawab tugasnya
6.    Pengajar sebagai jantung pendidikan dituntut semakin profesional seiring perkembangan ilmu dan teknologi.
Kode etik Pengajar sesungguhnya merupakan pedoman yang mengatur hubungan Pengajar dengan teman kerja, murid dan wali murid, pimpinan dan masyarakat serta dengan misi tugasnya. (Soetjipto 2007, hal. 34-35)
.
Akibat pelanggran kode etik
1.    Membuat nama instansi pendidikan yang meakukan plagiatisme akan tercemar bukan hanya instansi pendidikan saja tetapi instansi lain yang melakukan hal tersebut.
2.    Terjadi penyimpangan tanggung jawab atas tugas yang diemaban.
3.    Dapat mengakibatkan pertentangan internal dalam satu profesi atau suatu instansi.
4.    Menyebabkan turunnya citra suatu instansi atau oknum yang melakukan plagiatisme di masyarakat dan lingkungan sekitar.

Resiko untuk oknum yang melakukan pelanggaran kode etik pendidikan
1.    Bagi dosen yang di ketahui melakukan plagiat atas karya ilmiah maka Kopertis akan mengambil tindakan berupa di batalkan usul Jenjang Jabatan Akademiknya dan di tunda untuk usul berikutnya dalam jangka waktu tertentu atau usul jenjang jabatan akademiknya tidak dapat diusulkan begitu juga dengan mahasiswa.
2.    Bagi Pengajar yang di ketahui melakukan pelanggaran kode etik seperti mengedarkan kunci jawaban ujian, mengkatrol nilai memberi nilai tinggi untuk siswa-siswa yang dekat walaupun kenyataan nilainya rendah dan ketidakobyektifan lainnya akan mengambil tindakan berupa diberikan peringatan dan saksi tegas bilamana masih melanggarnya.

F.   Tindakan Yang Dapat Dilakukan Untuk Tidak Membuat Masyarakat Terganggu Dengan Pro Dan Kotra Yang Mampu Memicu Konflik Di Masa Mendatang
Tindakan yang dapat dilakukan:
1.  Proses pembelajaran hendaknya mengarah kepada kualitas, tidak hanya kepada kuantitas. Akhir-akhir ini terjadi kecenderungan bahwa kuantitas lebih diutamakan daripada kualitas.
2.  Proses pembelajaran tidak dapat dipercepat, dipadatkan atau dimodifikasi hanya sekedar untuk mencari legalitas. Pada saat ini ada kecenderungan mempersingkat masa pendidikan secara berlebihan yang pada akhirnya mengorbankan proses pembelajaran yang wajar. Bahkan terjadi kecenderungan lebih mementingkan jumlah lulusan dengan tidak mengindahkan proses pembelajaran yang benar. Hal ini bukan tidak mungkin berakibat kepada modus penjualan gelar yang semakin marak akhir-akhir ini.
3. Proses promosi atau kenaikan jabatan akademik dosen di perguruan tinggi hendaknya terjadi secara normal dan rasional sesuai kemampuan dan integritas dosen bersangkutan, tidak dipaksakan atau dipercepat dengan mengorbankan norma akademik serta hanya mencari legalitas.
4.  Dengan melihat kecenderungan tersebut di atas, maka banyak upaya mencari jalan pintas untuk memperoleh gelar diantaranya dengan melakukan kegiatan plagiat.
5. Untuk mencegah meluasnya kegiatan plagiat, maka setiap perguruan tinggi harus melakukan pengawasan yang ketat secara ilmiah terhadap proses pembelajaran yang diselenggarakan, dengan mengaktifkan berbagai komisi atau panitia penilai yang kompeten, mempunyai integritas dan berdedikasi tinggi.
6. Salah satu indikator kecermatan pengawasan mutu adalah intensitas penilaian dan penelaahan terhadap karya seseorang, apakah mahasiswa yang dinilai skripsi/tesis/ disertasi-nya maupun dosen yang dinilai karya ilmiahnya / prestasi mengajarnya dan sebagainya.
7. Untuk dapat memenuhi norma kewajaran proses pembelajaran di perguruan tinggi, maka perlu ada pedoman beban kerja seseorang dosen yang melakukan tugasnya secara penuh waktu (sesuai lampiran surat ini). Pedoman tersebut hendaknya dapat digunakan untuk mengendalikan mutu pendidikan. Apabila seseorang dosen dapat berkarya melebihi yang tercantum dalam pedoman tersebut berarti dosen tersebut mempunyai kemampuan khusus / luar biasa atau sebaliknya perlu diwaspadai adanya penyimpangan norma karena hanya mengejar kuantitas.

Pihak-pihak yang dilibatkan :
1.    Intasi pendidikan
2.    pimpinan pendidikan
3.    bagian administrasi pendidikan
4.    pengajar
5.    pengawas

            Pencegahan
1. Pimpinan perguruan tinggi mengawasi pelaksanaan kode etik mahasiswa/dosen/peneliti/tenaga kependidikan yang ditetapkan oleh senat perguruan tinggi yang antara lain berisi kaidah pencegahan dan penanggulangan plagiat.
2.  Pimpinan perguruan tinggi menetapkan dan mengawasi pelaksanaan gaya selingkung untuk setiap bidang ilmu, teknologi, dan seni yang dikembangkan oleh perguruan tinggi.
3.Pimpinan perguruan tinggi secara berkala mendiseminasikan kode etik mahasiswa/dosen/peneliti/tenaga kependidikan yang sesuai agar tercipta budaya antiplagiat.
4. Pada setiap karya ilmiah yang dihasilkan di lingkungan perguruan tinggi harus dilampirkar pernyataan yang ditandatangani oleh penyusun bahwa :
a.  karya ilmiah tersebut bebas plagiat
b. apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah tersebut, maka penyusunnya bersedia menerima sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
5. Pimpinan perguruan tinggi wajib mengunggah secara elektronik semua karya ilmiah mahasiswa/dosen/peneliti/tenaga kependidikan yang telah dilampiri pernyataan melalui portal Garuda (garba rujukan digital) sebagai titik akses terhadap karya ilmiah mahasiswa/dosen/peneliti/tenaga kependidikan Indonesia, atau portal lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi.

Penanggulangan
            Mahasiswa
1.   Dalam hal diduga telah terjadi plagiat oleh mahasiswa, Ketua jurusan/departemen/bagian membuat persandingan antara karya ilmiah mahasiswa dengan karya dan/atau karya ilmiah yang diduga merupakan sumber yang tidak dinyatakan oleh mahasiswa.
2.       Ketua jurusan/departemen/bagian meminta seorang dosen sejawat sebidang untuk memberikan kesaksian secara tertulis tentang kebenaran plagiat yang diduga dilakukan oleh mahasiswa.
8.       Mahasiswa yang diduga melakukan plagiat diberi kesempatan melakukan pembelaan di hadapan ketua jurusan/departemen/bagian.
9.   Apabila berdasarkan persandingan dan kesaksian telah terbukti terjadi plagiat, maka ketua jurusan/departemen/ bagian menjatuhkan sanksi kepada mahasiswa sebagai plagiator.
10. Apabila salah satu dari persandingan atau kesaksian, ternyata tidak dapat membuktikan terjadinya plagiat, maka sanksi tidak dapat dijatuhkan kepada mahasiswa yang diduga melakukan plagiat.

G.       PENUTUP
`    kesimpulan yang dapat kita ambil ialah, kita sebagai manusia yang ber-etika hendaknya mau menghargai karya orang lain, bila kita ingin menggunakan karya orang lain janganlah diakui sebagai karya sendiri. Sebutkanlah darimana kita mendapatkan karya tersebut. Plagiatisme juga secara intelektual tidak memberi keuntungan apa-apa, karena orang yang melakukan plagiatisme biasanya menginginkan yang praktis. Pun bila memp[elajari dan bisa itu hanya sesaat. Budayakan pendidikan kita dilaksanakan dengan jujur dan tanpa adanya plagiatisme, agar mencetak “orang-orang” bergelar yang benar-benar bermutu. Tidak ada sulitnya kita meminta bantuan orang lain dan meminta izin untuk memakai karya orang lain kepada pembuatnya dan menyebutkan sumbernya itu sudah merupakan tindakan yang bukan merupakan plagiat.

H.       DAFTAR PUSTAKA
  1. http://gakpunyablog.wordpress.com/2011/06/02/pengertian-plagiat/
  2. Harian pelita edisi 31 maret 2010 kolom opini oleh ari wibowo
  3. Kundanr. 2009. Guru Profesional: Implementasi KTSP dan Sukses dalam Sertifikasi Guru. Jakarta: Rajawali Pers.
  4. Soetjipto & Raflis Kosasi. 2007. Profesi Keguruan. Jakarta: Rineka Cipta
  5. http://money11-info.blogspot.com/2012/04/kode-etik-kependidikan.html
  6. http://sucipto.guru.fkip.uns.ac.id/2010/01/06/kode-etik-profesi-keguruan/
  7.  http://www.kopertis2.or.id/v2/images/foto_new/plagiat.pdf
  8. http://bandi.staff.fe.uns.ac.id/files/2009/08/seminar-ta-d3-2011.pdf

0 komentar:

Posting Komentar